Pilihan Redaksi
By using our website, you agree to the use of our cookies.

Jaksa Agung ulas orasi ilmiah Jamintel dikukuhkan jadi Guru Besar Univ Pancasila, soal hoax dan hate speech
Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M. @puspenkum
DEMOKRASI

Jaksa Agung ulas orasi ilmiah Jamintel dikukuhkan jadi Guru Besar Univ Pancasila, soal hoax dan hate speech 

LENSAINDONESIA.COM: Jaksa Agung ST Burhanuddin hadir dan memberikan sambutan pada Acara Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Pidana kepada Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Prof Dr Reda Manthovani, SH, LL.M.

Pengukuhan Jamintel ini membawakan orasi ilmiah yang berjudul “Relasi Literasi Digital dengan Pencegahan Tindak Pidana “Hoax” dan Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech) di Tahun Politik 2024”.

Jaksa Agung mengulas orasi ilmiah yang disampaikan Prof Dr Reda Manthovani, SH, LL.M. Menurut Jaksa Agung, tema yang diangkat pada orasi ilmiah milik tersebut sangatlah relevan dengan dinamika perkembangan hukum di Indonesia saat ini.

“Diskursus tentang hoax ataupun hate speech merupakan permasalahan sosial yang tidak hanya dihadapi oleh masyarakat tertentu atau negara tertentu saja. Tetapi, juga merupakan problematika yang dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia,” kata Jaksa Agung, di Universitas Pancasila, Jakarta, Jumat (26/1/2024).

“Oleh karena itu, saya sangat mengapresiasi dan mendukung gagasan yang disampaikan sebagai pembaharuan dalam upaya preventif tindak pidana hoax ataupun hate speech,” imbuh Jaksa Agung yang juga guru besar Fak Hukum di Universitas Jenderal Ssoedirman dengan titel lengkap Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M.

Jaksa Agung menyampaikan tindakan penyebaran hoax ataupun hate speech merupakan ujian besar bagi bangsa dalam mempertahankan kemajemukannya, baik dalam aspek keyakinan/agama, etnis, suku maupun yang lainnya.
Terbukti, lanjut dia, berdasarkan data yang dilansir Kementerian Komunikasi dan Informatika RI terdapat sekitar 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi menyebarkan informasi palsu.

Jaksa Agung juga mengatakan bahwa memasuki tahun politik, justru berbagai ujaran kebencian ataupun hoax selalu menghiasi berita di media sosial, seakan-akan berita tersebut menjadi pasokan rutin nan wajib dalam kontestasi demokrasi.

Kondisi tersebut telah menjadikan bangsa ini seakan mundur kembali ke era post-truth, dimana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang emosi serta keyakinan personal yang keliru.

“Pendekatan Non-Penal diharapkan mampu menjadi obat dalam mengatasi sebaran hoax dan hate speech pada masa Pemilu,” tutur Jaksa Agung.

Kejaksaan, Lanjut Jaksa Agung, sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki beberapa instrumen Non-Penal yang dapat meliterasi masyarakat, “Khususnya dalam hal penggunaan media sosial yang baik, beretika, serta bertanggung jawab”.

Beberapa instrumen Non-Penal tersebut dijabarkan Jaksa Agung, yakni program Jaksa Masuk Sekolah (JMS) yang mampu menjaring pengguna media sosial baik di level SMP maupun SMA. Dan, program Penerangan Hukum yang dilakukan oleh jajaran Intelijen Kejaksaan secara langsung kepada masyarakat.

Apabila konsep Non-Penal tersebut terus dilembagakan, Jaksa Agung percaya bahwa hal itu akan memberikan dampak yang signifikan guna menekan laju disinformasi di masyarakat.

“Selain pendekatan interpersonal, saya selaku pimpinan Kejaksaan pun terus mengingatkan agar jajaran Intelijen Kejaksaan senantiasa melakukan pemetaan ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan (AGHT) untuk dihimpun ke dalam Big Data Intelijen,” kata Jaksa Agung.

“Dengan demikian, kami dapat mengetahui titik-titik potensial terjadinya persebaran hoax dan hate speech pada saat persiapan, pelaksanaan, bahkan sampai dengan selesai pelaksanaan Pemilu,” tambahnya.

Menurut Jaksa Agung, penerapan kebijakan-kebijakan tersebut tentunya selaras dengan buah pikir Prof. Dr. Reda Manthovani, SH, LL.M. bahwa salah satu upaya Non-Penal dalam rangka penanggulangan kejahatan hoax dan ujaran kebencian yakni dengan melakukan sosialisasi peningkatan literasi digital kepada masyarakat Indonesia.

Hal itu dapat dilakukan melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Kepolisian RI serta Kejaksaan RI dengan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat digital.

Jaksa Agung berharap pemikiran Prof. Dr. Reda Manthovani, SH, LL.M kedepan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembentuk Undang-Undang dalam menyusun arah kebijakan legislasi. Khususnya, dalam hal peningkatan literasi digital masyarakat guna menekan arus disinformasi pada kontestasi Pemilu.

Selain itu, pemikiran Prof. Dr. Reda Manthovani juga dapat menjadi sumber kajian untuk diaplikasikan oleh para akademisi dan praktisi hukum.

“Kami mengucapkan selamat kepada Prof. Dr. Reda Manthovani, SH, LL.M. sebagai Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Semoga amanah yang diemban dapat terus memberikan kerja nyata dan karya nyata bagi kemaslahatan hukum di Indonesia,” pungkas Jaksa Agung. @rachmat

Related posts