Pilihan Redaksi
By using our website, you agree to the use of our cookies.

TPID fokus di tiga komoditas ini untuk menjaga inflasi di Jawa
Ilustrasi laju inflasi. Ist
EKONOMI & BISNIS

TPID fokus di tiga komoditas ini untuk menjaga inflasi di Jawa 

LENSAINDONESIA.COM: Menjaga stabilitas inflasi wilayah Jawa di rentang sasaran nasional 2,5±1% (yoy), Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) se Jawa ekstra memonitor pada tiga komoditas, yakni beras, aneka cabe (cabe rawit dan cabe merah) serta bawang merah.

Langkah ini ditempuh sebab tiga komoditas tersebut di beberapa bulan terakhir mengalami kenaikan cukup signifikan. Sementara kontribusi terhadap inflasi sangat besar.

“Jangka pendek yang harus kita perhatikan yakni persiapan jelang Ramadan. Usai kami mengidentifikasi, dari hasil rakorpusda ada tiga komoditas yang akan menjadi pantauan kita semua dari TPID se Jawa, diantaranya beras, aneka cabe dan bawang merah,” tutur Deputi Kepala Perwakilan BI Jatim, Bandoe Widiarto saat Rapat koordinasi pusat dan daerah (Rakorpusda) Bank Indonesia dalam rangka pengendalian inflasi wilayah Jawa Tahun 2024 di Malang, Selasa (27/02/2024).

Sementara, Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Timur Adhy Karyono menyampaikan, pengendalian inflasi menjadi prioritas dalam pembangunan daerah sebab sangat berpengaruh pada keterjangkauan harga dan perubahan garis kemiskinan. Pembangunan daerah akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

“Untuk itu, saat inflasi dikendalikan maka peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak tergerus kenaikan harga barang, khususnya komoditi pangan. Sebab sektor komoditi makanan berkontribusi sebesar 75,8% pembentuk garis kemiskinan Jatim,” tandasnya.

Seperti diketahui, tahun 2023 produksi beras Jatim mencapai 5,5 juta ton setara 32,2% produksi beras di Pulau Jawa, dan produksi jagung mencapai 4,5 juta ton atau sekitar 60,9% produksi jagung Pulau Jawa.

Penyumbang inflasi paling dominan dari aspek pangan
Kendati demikian, komoditas pangan terutama beras menjadi penyumbang inflasi dominan. Sayangnya, kenaikan harga beras tersebut tak serta merta bisa dinikmati para petani dan menaikkan derajat kesejahteraan mereka.

“Merujuk data BPS, peningkatan harga gabah terjadi saat produksi gabah tidak pada masa puncak produksi. Bahkan, saat panen raya (Maret-April) justru terjadi penurunan harga jual gabah,” urainya.

Selain itu, ada pula dilema yang harus dihadapi dalam pengendalian inflasi di Jatim.

Komoditi pangan Jatim harus penuhi kebutuhan 16 provinsi
Di antaranya Jatim merupakan provinsi dengan 11 kota indeks harga konsumen (IHK) terbanyak di Pulau Jawa, Jatim merupakan salah satu lumbung pangan nusantara yang produksi komoditi pangannya untuk memenuhi kebutuhan 16 provinsi lain di Indonesia.

Industri penghasil rokok terbesar
Jawa timur juga merupakan salah satu penghasil industri rokok terbesar dimana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) memberikan tekanan harga di Jatim.

“Untuk menyikapi hambatan dan pengendalian inflasi di Jatim inilah maka, TPID Jatim mau tak mau harus memperkuat kelembagaan petani. Salah satunya melalui program korporasi petani,” paparnya.

Ia menegaskan, skema program korporasi petani ini diharapkan mampu meningkatkan daya tawar terhadap tengkulak dan daya saing petani sekaligus alternatif solusi pengendalian inflasi utamanya inflasi pangan di Jawa Timur.

Bagi Adhy, terobosan ini sebetulnya sudah dilakukan sejak semester lalu.

“Saat ini, pelatihannya sudah berjalan di Jombang dengan 10 gapoktan menggunakan koperasi petani dan nelayan dengan model koperasi multi pihak baik petani pemilik rice mill, kemudian kepala desa dan beberapa komponen lainnya,” imbuhnya.

Adhy menjelaskan, Skema korporasi petani yang dijalankan melibatkan fasilitasi pembiayaan, dengan keterlibatan PT Kliring Perdagangan Berjangka Indonesia yang merupakan BUMN serta Bank UMKM Jatim. Korporasi petani juga mengelola secara profesional dari sisi hulu dengan hasil produksi utama beras dan residu bernilai ekonomi tinggi.

“Sampai dengan dibantu dengan bukan hanya berasnya, tetapi juga residu dari beras, ada biogas, ada pelet sekam, dan PLTBm,” tuturnya.

Selain itu, Koperasi Produsen Multi Pihak mayoritas juga milik Petani, manajemen korporasi, industri penggilingan beras, investor serta pemasaran terhubung dengan BUMD dan Kepala Desa. Karena mayoritas milik petani, sehingga pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) menjadi nilai tambah bagi kesejahteraan petani.

Adhy menambahkan, juga dijalankan korporasi pemasaran, dengan menggunakan merek kolektif atau communal branding “Jatim Cettar”. Sementara harga pasar dibentuk dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh korporasi petani dan akan menjadi acuan penjualan untuk korporasi pemasaran.

“Intinya adalah kita akan menutup dua masalah dengan strategi korporasi petani yang pertama adalah ketersediaan pangan, lumbung pangan atau pengendalian bahan pangan untuk mencegah kelangkaan, yang kedua adalah pengendalian inflasi dari bawah,” terangnya.

Tak hanya itu, Pj. Gubernur Adhy menyebutkan bahwa Jatim terus berupaya mengoptimalkan perdagangan antar provinsi untuk pengendalian inflasi nasional. Yaitu dengan mengoptimalkan perdagangan antar pulau melalui kerjasama inter-provinsi (KIP) melalui kegiatan misi dagang yang sepanjang tahun 2019-2023 transaksi misi dagang berhasil mencapai angka Rp 11,5 triliun dengan total transaksi sebanyak Rp 1.641 dalam negeri dan 39 transaksi luar negeri.

“Jawa Timur ini setiap bulan melakukan misi dagang antar provinsi, setiap bulan misi dagang dan kalau di wilayah timur itu pasti surplus Jawa Timur,” ucapnya.

Sejumlah rekomendasi kebijakan untuk pengendalian inflasi TPID Jatim dari pengalaman Jawa Timur.

Salah satunya melalui usulan program sinergi pengendalian inflasi seasonal antara lain optimalisasi dan perluasan wartek bersama TPID Jatim, optimalisasi dan perluasan KAD antar provinsi dan KID Jatim bersama TPID Jatim. Juga optimalisasi e-commerce bersama TPID Jatim.

“Prinsipnya kita selalu menjaga, mewaspadai bagaimana komoditas pangan sebagai sumber atau faktor inflasi dan Jawa Timur mengalami itu khusus di beras dan cabai. Jika cabe tidak terlalu tetapi beras, walaupun beras kami surplus tapi ternyata bagaimana kondisi di lapangan sangat tergantung pasokan beras dari Bulog,” urainya.@Rel-Licom

Related posts