Pilihan Redaksi
By using our website, you agree to the use of our cookies.

Persatuan Jaksa apresiasi MK tolak uji materi persoalkan kewenangan kejaksaan menyidik tindak pidana korupsi
Ketua Umum Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja) Dr Amir Yanto SH, MM, MH, CGCAE. @foto:puspenkum
HEADLINE

Persatuan Jaksa apresiasi MK tolak uji materi persoalkan kewenangan kejaksaan menyidik tindak pidana korupsi 

LENSAINDONESIA.COM: Ketua Umum Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja) Dr Amir Yanto SH, MM, MH, CGCAE mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), menolak permohonan uji materiil undang-undang yang intinya mempersoalkan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.

“Putusan Mahkamah Konstitusi ini semakin menguatkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu yang menegaskan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana khusus dan/atau tindak pidana tertentu, dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi,” kata Amir Yanto dalam keterangannya, dikutip Jumat (19/01/2024).

Putusan MK Nomor: 28/PUU-XXI/2023 itu menyatakan menolak permohonan diajukan seorang advokat, M Yasin Djamaludin. Intinya mempersoalkan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang diatur dalam tiga undang-undang (UU).

Ketiga UU itu, yakni Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), dan Pasal 39 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Lainnya, Pasal 44 ayat (4) dan (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 ayat (1), (2), (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’ dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

“MK dalam pertimbangan putusannya, sebagian mengadopsi dalil-dalil yang diajukan Persatuan Jaksa Indonesia. Persaja ini hadir sebagai pihak terkait mewakili kepentingan para Jaksa se-Indonesia,” ungkap Amir Yanto, yang mantan Jaksa Agung Muda Intelejen (Jamintel) Kejaksaan Agung.

MK menyatakan bahwa dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. UUD 1945 secara eksplisit tidak membatasi atau menentukan bahwa kewenangan penyidikan hanya menjadi kewenangan tunggal Kepolisian.

Pembentuk Undang-Undang memilih untuk memberikan kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi kepada Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Dikarenakan penanganan perkara tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime memiliki dimensi persoalan yang krusial. Sehingga, dalam hal penyidikan tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga penegak hukum saja.

2. Kewenangan kejaksaan untuk penyidikan tindak pidana khusus diperlukan untuk kepentingan penegakan hukum. Ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan hanya merupakan pintu masuk bagi Pembentuk Undang-Undang untuk memberikan kewenangan kepada Kejaksaan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu.

Untuk tindak pidana umum, kewenangan penyidikan tetap berada pada Kepolisian. MK memandang bahwa kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan masih tetap diperlukan untuk menangani tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang secara faktual jenis maupun modusnya semakin beragam.

Disamping itu, secara riil adanya pemberian kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan semakin mempercepat penyelesaian penanganan tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi pelaku, serta memenuhi rasa keadilan kepada masyarakat.

3. Kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan merupakan praktik yang lazim. Khususnya, menyangkut tindak pidana khusus dan/atau tindak pidana tertentu yang sifatnya extra ordinary crime. Secara universal membutuhkan lebih dari satu lembaga penegak hukum untuk menanganinya. Khususnya, dalam hal kewenangan penyidikan.

Penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan dalam praktik di dunia internasional juga dilakukan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu. Misalnya, dalam United Nations Rome Statute of the International Criminal Court 1998 (Statuta Roma), di Korea Selatan melalui Criminal Procedure Act Article 195, Belanda melalui Code of Criminal Procedure Article 10, Jerman melalui German Code of Criminal Procedure Section 161.

4. Kolaborasi lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Pasal-pasal yang diajukan pengujian oleh Pemohon merupakan norma yang mengatur hal yang berhubungan dengan kewajiban adanya kolaborasi diantara lembaga penegak hukum. Yakni, Kepolisian, Kejaksaan dan KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi.

Pembentuk Undang-Undang yang memandang tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime yang mempunyai dimensi persoalan yang krusial, dan tidak mungkin hanya ditangani oleh satu lembaga penegak hukum sebagai penyidik.

Artinya, penyidikan dalam tindak pidana korupsi selain dilakukan oleh Kepolisian, diperlukan lembaga penegak hukum lain seperti Kejaksaan dan KPK. Sepanjang ketiga lembaga penegak hukum dimaksud saling berkoordinasi, agar terdapat kesatuan sikap dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sehingga, diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Dalam rangka tersebut, telah ada Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor: KEP-049/A/JA/02/2012; Nomor: B/23/III/2012; Nomor: Spj-39/01/03/2012 tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diperbaharui terakhir dengan Nota Kesepahaman antara Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Yaitu, ber-Nomor: 107 Tahun 2021; Nomor: 6 Tahun 2021; Nomor: NK/17/V/2021 tentang Kerja Sama dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu bentuk kerja samanya, antara lain terkait sinergi penanganan perkara tindak pidana korupsi. Termasuk, dalam kegiatan hal pelaporan dan/atau pengaduan masyarakat, dan koordinasi dan/atau supervisi.

“Adanya nota kesepakatan/kesepahaman tersebut, tentunya menjadikan penanganan tindak pidana korupsi lebih efektif dan efisien,” papar Amir Yanto.

“selain itu, adanya aspek kesepakatan dalam koordinasi dan juga supervisi menjadikan aspek pengawasan tidak hilang dalam hal penanganan perkara tindak pidana korupsi antara Kepolisian. Kejaksaan dan KPK,” imbuh dia.

5. Kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tersebut tidak berpotensi mengganggu prinsip checks and balances. MK memandang bahwa dalil Pemohon yang menyatakan tidak berjalannya checks and balances sebagai dalil yang tidak relevan untuk dipertimbangkan.

Begitu juga mengenai tidak berfungsinya prinsip diferensiasi fungsional. Sehingga, berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan, sebagai bentuk kekhawatiran yang berlebihan dan tidak beralasan.
“Seandainya berdampak pada terlanggarnya hak-hak tersangka/terdakwa, sebagaimana yang didalilkan telah dialami oleh Pemohon, maka telah tersedia mekanisme kontrol yang dapat digunakan yaitu melalui permohonan praperadilan,” urai Amir Yanto.

Dengan berdasarkan seluruh pertimbangan hukum, maka MK menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

Putusan tersebut diucapkan dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum, pada Selasa, 16 Januari 2024 oleh Sembilan Hakim Konstitusi.

Kesembilan hakim itu, yakni Suhartoyo selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra, Daniel Yusmic P. Foekh, M. Guntur Hamzah, Anwar Usman, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan Ridwan Mansyur masing-masing sebagai anggota, bertempat di ruang sidang Pleno, Gedung 1, Mahkamah Konstitusi.

“Persatuan Jaksa Indonesia mengajak seluruh anggota PERSAJA mendukung sepenuhnya kebijakan Jaksa Agung RI dalam menjaga marwah Institusi, meningkatkan kepercayaan publik, dan senantiasa menjadi Lembaga penegak hukum yang paling dipercaya publik, khususnya dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” tegas Amir Yanto.

Selain itu, lanjut dia, terkait penindakan massif yang berhubungan dengan kepentingan publik, menyentuh kebutuhan pokok masyarakat dan mengutamakan perkara-perkara “Big Fish”.

“Sehingga, masyarakat semakin memahami bahwa korupsi itu tidak hanya merampas ekonomi masyarakat. Tetapi, juga melemahkan pertumbuhan ekonomi masyarakat,” pungkas Amir Yanto. @rachmat

Related posts