Pilihan Redaksi
By using our website, you agree to the use of our cookies.

Refleksi pergantian 2023 ke 2024, Kombatan: PDI-P jangan mau dikorbankan politik culas dan curang terburuk era reformasi
Capres Ganjar Pranowo mencermati aspirasi yang disampaikan Ketua DPN Kombatan, Budi Mulyawan (Cepi), yang juga Ketua jejaring relawan Jarwo Center Indonesia. @foto:kom
DEMOKRASI

Refleksi pergantian 2023 ke 2024, Kombatan: PDI-P jangan mau dikorbankan politik culas dan curang terburuk era reformasi 

LENSAINDONESIA.COM: PDI Perjuangan dalam refleksi selama kurun tahun 2023, dinilai sebagai salah satu Parpol peserta Pemilu 2024 yang mengalami tragedi politik terburuk dalam sejarah sejak memasuki era reformasi hingga tutup tahun 2023.

Pasalnya, PDI Perjuangan (PDI-P) menghadapi peristiwa pengkhianatan politik besar dari kader unggulan yang difasilitasi dari mulai maju Walikota Solo hingga menjadi Presiden RI dua periode.

“Joko Widodo alias Jokowi sebagai kader yang diandalkan, faktanya bukan hanya ingkar terhadap yang diamanatkan partai. Tapi, juga berpaling ke partai lain dalam Pilpres di saat dirinya mengalami puncak popularitas,” kata Ketua Umum DPN Komunitas Banteng Asli Nusantara (Kombatan) Budi Mulyawan –akrab disapa Cepi– dalam keterangannya dikutip, Selasa (2/1/2024).

Menurut Cepi, soal kader hengkang dan bergabung ke partai lain, itu bukan hal aneh dalam dunia politik praktis. Tapi, tragedi politik yang dialami PDI-P di tahun 2023 terkait Jokowi sangat tidak lazim. Apalagi, juga melibatkan anak Jokowi, Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka dan menantunya, Bobby Nasution yang Walikota Medan.

Bahkan, kata Cepi, ada kekhawatiran keniscayaan Jokowi dan keluarganya melakukan serangkaian “perlawanan” terhadap PDI-P, akan jadi preseden buruk dalam budaya politik demokrasi di Tanah Air.

Ironis, lanjut Cepi, PDI-P yang membidani Jokowi dan keluarganya terjun di gelanggang politik kekuasaan justru dijadikan “musuh” politik. Memprihatinkan, kata dia, karena seolah jadi fenomena “politik Malin Kundang” dalam budaya demokrasi partai politik di Indonesia.

“Jokowi setelah menikmati berbagai fasilitas politik istimewa dari partai mulai walikota hingga presiden, ternyata bukan cuma menabrak moral budi pekerti berpolitik memihak ke partai lain dalam Pemilu,” ungkap Cepi, yang sebelum mendeklarasikan Kombatan jadi Ormas Nasionalis, justru jejaring relawan militan Jokowi dalam dua kali maju Pilpres.

Cepi juga menegaskan, realita politik Gibran juga mengikuti jejak paradoks Jokowi. Padahal, anak sulung Jokowi ini saat prosesi jadi walikota Solo juga diperjuangkan “all out” PDI-P dan para kader serta konstituante PDI-P di kota keluarga Jokowi itu.

Politik kader “malin kundang”, ternyata disambut menantu Jokowi, Bobby Nasution yang jadi Walikota Medan juga difasilitasi PDI-P.

Fakta lebih tragis, lanjut Cepi, semua dinamika itu seperti ada kesengajaan menghalalkan pengkhianatan politik dengan disertai berbagai macam manuver yang diidentikkan praktik politik culas dan curang dalam berbagai hal.

Sebab efeknya, kata Cepi, tidak hanya melemahkan power partai berbasis ideologi nasionalisme Proklamator Ir Soekarno ini. Tapi, identik mendegradasi posisi PDI-P sebagai partai pemenang dua kali Pemilu, yakni 2014 dan 2019.

“Tentu, realitas ini membahayakan masa depan PDI Perjuangan. Karena arahnya pada Pemilu 2024 nanti, dapat memindahkan lumbung suara PDI Perjuangan ke partai lain. PDIP bisa terancam akan jadi partai yang kalah,” imbuh Cepi, yang juga kader PDI-P sejak era tragedi pemberangusan Kantor PDI –sebelum ganti nama PDI Perjuangan– pada masa Orde Baru.

Karenanya, lanjut Cepi, Kombatan mengingatkan PDI Perjuangan jangan sampai lengah sedikit pun menghadapi ranjau-ranjau “jebakan batman” memasuki tahun baru 2024, yang ditandai momen strategis Pemilu 14 Februari 2024.

Sebaliknya, Cepi mempertegas, PDI-P wajib bangkit dan melawan. Sehingga, tidak dapat dikorbankan dalam suksesi periodisasi politik kekuasaan nasional per kurun 20-an tahun sekali, yang bertepatan dengan Pemilu 2024.

“Usia periodisasi politik Tanah Air itu sudah terbukti, contohnya dimulai era Kebangkitan 1908, Sumpah Pemuda 1928, kemerdekaan RI 1945, Tragedi PKI 1965, gerakan Malari hingga Reformasi 1998. Suksesi regenerasi kekuasaan itu rata-rata dinamika tensi politik memang keras,” ungkap Cepi.

Kombatan mencermati, lanjut Cepi, dinamika politik dari masa ke masa juga selalu diwarnai sarat manuver politik devide et impera, adu domba, tipu muslihat.

“Pastinya, kolaborasi manuver politik ekonomi global yang berkonspirasi dengan domestik, selanjutnya memanfaatkan pelaku politik praktis dalam negeri,” tutur Cepi, yang juga Ketua Umum Jejaring Relawan Jarwo (Ganjar Pranowo) Center Indonesia.

“Jadi, tidak heran marwah politik menuju Pemilu 2024 diwarnai banyak peristiwa politik keras dan mencengangkan. Sebab, merupakan momen puncak suksesi perebutan politik kekuasaan untuk arah satu generasi minimal kurun 20 tahun ke depan,” tutur Cepi, mengingatkan.

CULAS DAN CURANG

Cepi mengritisi lebih mendalam adanya manuver ingkar peran PDI Perjuangan yang secara konstitusi memback-up penuh tugas Jokowi sebagai presiden RI. Fakta yang dikhianati, dukungan elektoral massa PDI-P.

Selain itu, lanjut Cepi, juga pengkhianatan terhadap dukungan total seluruh anggota legislator Fraksi PDI-P yang jumlahnya terbanyak di DPR RI selama dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi. Begitu pun dukungan peran serta kader PDI-P, Puan Maharani dalam posisi strategis sebagai Ketua DPR RI.

Ironisnya, kata Cepi, kewenangan konstitusi para legislator itu tiba-tiba diculasi Anwar Usman sebagai pimpinan lembaga tertinggi yudikatif, yakni Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Adik ipar Jokowi ini dengan klaimnya “jabatan merupakan amanah Tuhan”, justru membuat keputusan perkara No 90/PUU-XXI/2023 yang menabrak esensi konstitusi.

“Intinya, ketua MK sebagai lembaga yudikatif menghalalkan bikin peraturan yang seharusnya kewenangan legislatif di DPR RI dan eksekutif yakni pemerintah,” ungkap Cepi. Karenanya, sidang kode etik Majelis Koehormatan MK (MKMK) mencopot jabatan Anwar sebagai Ketua MK, karena terbukti melanggar etik berat.

Menurut Cepi, Gibran dalam statusnya sebagai kader PDI-P juga gayung bersambut merespon putusan sang paman, di MK itu. Yakni, syarat usia Capres dan Cawapres sekrang-kurangnya 40 tahun atau pernah menjabat kepala daerah. Gibran yang masih berusia 37 tahun pun maju jadi Cawapres lewat Golkar mendampingi Prabowo Subianto dengan didukung Koalisi Indonesia Maju.

“Politik memang tidak ada teman yang abadi, kecuali kepentingan. Tapi, Jokowi dan keluarganya sebagai kader PDI-P yang difasilitasi partai dan didukung massa PDI-P, rasanya ada tanda tanya besar kalau kemudian berpaling ke partai lain,” ungkap Cepi, meyakini tanda tanya itu pada waktunya akan terjawab secara terang benderang.

Kombatan, kata Cepi, dari awal sudah memprediksi jika akan terjadi politik keniscayaan Jokowi dan keluarganya seperti sekarang ini. Indikatornya saat Jokowi menjadi presiden periode kedua merangkul Prabowo Subianto, yang dua kali dikalahkan dalam Pilpres.

“Dengan memasukkan Prabowo dalam kabinet sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), secara logika Jokowi tentu lebih intens berkomunikasi dengan Prabowo ketimbang elite penguasa di PDI-P,” ungkap Cepi.

Menurut dia, Prabowo sebagai Menhan tidak bisa dipisahkan dengan kapasitasnya sebagai Ketua Umum Gerindra, yakni partai pemenang runner up setelah PDI-P dalam Pemilu 2019.

“Oleh karena itu, intensitas dan kualitas komunikasi politik Jokowi dengan Prabowo tentu, tidak sebatas sebagai Menteri Pertahanan,” tutur pimpinan Ormas yang ketua dewan pembinanya adalah Sidarto Danusubroto, Ajudan Proklamator Ir Soekarno dan Mantan Ketua MPR RI, yang juga Watimpres dua periode ini.

Karenanya, lanjut Cepi, wajar kalau Jokowi kemudian semakin berjarak dengan para elite kekuasaan PDI-P. Eksesnya tidak bisa dihindari rahasia terdalam kekuatan internal PDI-P mudah terbaca kekuatan di luar partai. Dampaknya, disadari atau tidak terus bermunculan skenario polarisasi baik persaingan politik internal maupun lawan politik eksternal.

Efeknya, kata Cepi, politik devide et impera dan tipu muslihat terus menjadi circle politik kemana-mana, baik dinamika domestik maupun internasional. Termasuk, kekuatan politik global yang tidak diuntungkan selama kepemimpinan Jokowi yang cenderung berjarak dengan elite penguasa PDI-P.

“Jadi, PDI Perjuangan menghadapi Pemilu 2024 harus bangkit. Ganjar-Mahfud harus memenangkan Pilpres 2024. Jika tidak akan beresiko satu generasi ke depan, yakni minimal kurun 20 tahun memaksa kader PDI-P jadi penonton atau oposisi,” kata Cepi.

“Keberlanjutan arah politik Jokowi yang selama ini ‘on the track’ akan melenceng. Arah reformasi bisa berbalik ke politik neoOrba, dan sulit direbut kembali oleh PDI Perjuangan,” pungkas Cepi. @licom_09

 

Related posts