Pilihan Redaksi
By using our website, you agree to the use of our cookies.

Sebut presiden boleh kampanye dan memihak, Jokowi dinilai plin plan soal netralitas Pemilu
Presiden Jokowi bersama Menhan Prabowo Subianto di Halim Perdanakusuma, Jakarta. FOTO: doc.licom/istimewa
DEMOKRASI

Sebut presiden boleh kampanye dan memihak, Jokowi dinilai plin plan soal netralitas Pemilu 

LENSAINDONESIA.COM: Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai plin plan dalam hal netralitas Pemilu 2024. Hal ini setelah Jokowi memberikan pernyataan yang mengejutkan dengan menyatakan “Presiden boleh kampanye dan memihak” kepada salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.

Pernyataan Presiden Jokowi tersebut dilontarkan saat menjawab pertanyaan wartawan seusai menerima Alutsista di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Rabu (24/01/2024).

Menurut Anang Suindro Advokat yang tergabung dalam Aliansi 98 Pengacara mengatakan, bahwa pernyataan Presiden Jokowi itu jelas berlawanan dengan akal sehat dan kewarasan kekuasaan yang demokratis. Sebab Presiden itu, menurut Anang, adalah menunjuk pada entitas lembaga negara, dan jabatan publik, bukan personatau perorangan. Dengan demikian, Jokowi dalam kapasitas sebagai presiden dilarang dia berpihak dan mendukung pasangan calon.

“Apalagi yang mau didukung itu Gibran calon wakil presiden produk Nepotisme dari iparnya yang saat itu menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, dan diberhentikan oleh MKMK yang diketuai oleh Jimly Asshidiqie,” ternga Anang.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Presisi, Demas Brian W. Kata dia, presiden boleh memihak dalam kapasitas pribadi pada saat di TPS nanti.

“Sebagai kepala negara, menyalurkan suaranya suatu hal yang wajib, tapi dilakukan secara pribadi saat di tempat pemungutan suara ketika hari pencoblosan,” ujar Demas.

“Sungguh akan membahayakan sendi sendi negara demokrasi dan konstitusi, jika Presiden Jokowi menunjukkan sikap terang-terangan dengan pernyataan keberpihakannya kepada anaknya yang saat ini maju sebagai Cawapres,” katanya.

“Ini jelas semakin membuktikan, nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan negara sedang bekerja untuk memenangkan Gibran anaknya yang berpasangan dengan Prabowo. Tidak bisa dibayangkan pengaruh kekuasaan Presiden baik sebagai kepala pemerintahan tertinggi, sebagai Panglima tertinggi dan sebagai kepala negara akan menyeret posisi alat alat kekuasaan negara menjadi tidak netral, kecuali mereka pimpinan/pejabat yang berani mengambil sikap berbeda dengan Presidennya yang mendukung Gibran anak kandungnya sebagai pasangan Prabowo,” tambah Demas.

“Perhatikan pasal pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dapat disalahgunakan atau dapat berpengaruh pada pimpinan/pejabat negara untuk mendukung keberpihakan Presiden:

a. Pasal 4 ayat (1) menyatakan:
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar.

b. Pasal 10 juga menyebutkan:
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Pasal ini memiliki potensi disalahgunakan Presiden untuk menggerakkan pimpinan/pejabat pemerintahan, TNI dan Polri serta Kepala Daerah dan Kepala Desa atau lurah,” ungkapnya lebih lanjut.

Menurut Demas, karena keberpihakan politik presiden tersebut telah dimanifestasikan dalam bentuk pernyataan ke publik luas untuk berpihak dan mengarah pada indikasi nepotisme, maka sangat mungkin kebijakan atau program-program pemerintahan seperti Bansos dan lain lain penggunaan fasilitas negara atau pengaruh jabatannya sebagai Presiden, diarahkan untuk pemenangan Prabowo Gibran.

‘Ini jelas jelas merupakan Penyalahgunaan Wewenang (Abuse of Power) dan jelas terbukti memenuhi unsur berupa “Perbuatan melanggar hukum dan perbuatan tercela” sebagaimana pasal 7A UUD 1945, dan sekaligus melanggar Konstitusi yaitu sumpah janji presiden pada pasal 9 UUD 1945,” ucapnya.

Atas hal tersebut menurut Demas DPR dapat bersikap berdasar pasal 7B UUD1945 sebagai bentuk check and balances, ketika ada unsur yang diduga Presiden melakukan penyalahgunaan wewenang saat masa kampanye pemilu dalam bentuk ucapan terbuka, kebijakan pemerintah, maka DPR dapat menggunakan fungsi pengawasannya yaitu tiga hak DPR berupa: Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.

“Jika keberpihakan presiden terhadap peserta pemilu tertentu dimanifestasikan dalam suatu kebijakan atau keputusan pemerintah yang tidak netral, maka berpotensi menjadi bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilarang oleh undang-undang,” katanya.

“Jika kita lihat pernyataan Presiden Jokowi yang beredar di medsos bahwa harus netral, maka jika disandingkan dengan pernyataan Presiden untuk berpihak, maka ini pernyataan yang dalam kultur Jawa disebut plin plan,” sebutnya.

“Di satu sisi presiden menyampaikan bahwa pemerintah harus netral namun pada akhirnya Jokowi menyampaikan bahwa presiden boleh berkampanye/memihak. Ini benar benar tidak elok dan tidak etis yang disampaikan oleh seorang Presiden yang patut diduga akan menghalalkan Nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaannya secara sewenang-wenang,” pungkas Demas.@rofik

Related posts